BUDAYA KHAS BANGKA BELITUNG

Beripat Beregong


Tari Beripat adalah sebuah kesenian pertunjukan masyarakat Belitung untuk menunjukkan kejantanan seorang lelaki dengan cara saling memukul menggunakan senjata rotan. Ripat berarti memukul, dan gong adalah alat musik pengiring tarian. Penilaian dilakukan dengan melihat siapa yang paling sedikit mendapatkan bekas pukulan maka dia lah pemenangnya. Tujuan awal permainan ini, selain untuk mempererat hubungan antar kampung, juga untuk memupuk sportivitas. Sekarang kegiatan ini dilestarikan dalam bentuk acara budaya dan seni.
Tidak ada catatan pasti bagaimana tradisi ini dimulai, Tetapi diperkirakan tradisi ini sudah ada sejak lahirnya Kerajaan Badau, yaitu kerajaan pertama di Belitung. Ada juga kisah yang terkait tarian ini. Zaman dahulu, di sebuah Kelekak Gelanggang yang sekarang dikenal dengan nama Desa Mentigi, ada seorang gadis yang kecantikannya membuat banyak lelaki berniat untuk mempersuntingnya, terutama dari kalangan para pemuda berilmu tinggi. Lantaran banyak lamaran yang datang, orang tua si gadis sulit memutuskan atau pun menolak pemuda yang pantas untuk meminang anaknya.
Akhirnya orang tua si gadis memutuskan untuk menyerahkan keputusan kepada para peminang. Para peminang pun sepakat untuk bertanding ilmu dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul.  Peminang yang menerima pukulan di bagian punggung dinyatakan kalah, namun jika  kedua-duanya terkena pukulan, maka pemenangnya adalah yang paling sedikit menerima pukulan.
Pada hari yang disepakati, para peminang berkumpul di gelanggang sementara penduduk pun berdatangan untuk menyaksikan laga kesaktian tersebut. Gong, kelinang, tawak-tawak, gendang dan serunai digunakan sebagai pengiring. Diiringi musik, para jagoan tersebut pun berseru menunjukkan keberanian menghadapi siapa saja. Menurut cerita, karena dalam pertandingan tersebut merupakan orang-orang berilmu tinggi, maka tidak ada yang menang atau pun kalah.
Saat ini permainan tersebut  sudah jarang dimainkan, tetapi  biasanya  dapat dilihat pada perayaan Maras Taun dan Selamatan Kampung. Menyelenggarakannya pun tidak mudah, karena harus dimainkan dengan dukungan lengkap, seperti harus ada bangunan rumah tinggi (Balai Peregongan) sekitar 6-7 meter, alat musik pukul. Juga, dibutuhkan seorang dukun atau ahli waris pemilik gong untuk memimpin menaikkan alat- alat musik tersebut ke Balai Peregongan.

Permainan ini dipimpin oleh seorang dukun kampung, dibantu oleh juru pisah dan pencatat dan dilakukan pada malam hari. Setelah gong dibunyikan, penari mulai ngigal (menari - nari) sambil berseru seakan meminang putri cantik. Disyaratkan, kedua pemain tidak boleh berasal dari kampung yang sejalan, dengan tujuan jika ada dendam, maka kecil kemungkinan untuk mereka kembali bertemu. Kedua pemain menghadap dukun dan jika disetujui, mereka pun membuka baju dari pinggang keatas, untuk melindungi bagian kepala, ditutup dengan sehelai kain. Tangan kiri dan kaki juga dibalut sebatas lutut dibebat menggunakan kain untuk menangkis pukulan lawan. Aturan permainannya adalah tidak boleh menyerang dengan mengecoh, harus saling serang dan tidak boleh menyerang bagian kepala atau pun bagian pinggang ke bawah. Pukulan dianggap sah jika mengenai bagian belakang.
Sebelum pertandingan, rotan diperiksa dan diukur sama panjang, dibasuh dengan air jampi yang konon berkhasiat untuk menahan sakit karena walau terkena satu pukulan saja maka akan berbekas besar. Rasa sakit akibat pukulan akan dirasakan setelah sampai di rumah. Lama pertunjukan ini pun pada awalnya berlangsung selama seminggu. Namun sekarang biasanya hanya ditampilkan dalam waktu yang jauh lebih singkat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUDAYA KHAS DARI NEGARA BELANDA

BUDAYA KHAS DARI NEGARA NORWEGIA

BUDAYA KHAS DARI NEGARA RUSIA